Monday, July 3, 2017

,

(Summer #3) We'll Always Have Summer - Jenny Han



Blurb:

Isabel has only ever loved two boys, Conrad and Jeremiah Fisher.

One broke her heart; the other made her happier than she ever thought she'd be. But each brother is keeping a secret, and this summer Isabel must choose between the Fisher boys, once and for all.

Which brother will it be?




We'll Always Have Summer adalah buku ketiga dari trilogi Summer-nya Jenny Han. Buku pertama dari trilogi ini adalah The Summer I Turned Pretty (review di sini) dan buku keduanya It's Not Summer Without You (review di sini)

Di buku ketiga ini, cerita dimulai dari Belly dan Jere yang mulai dating sejak senior year-nya Belly di high school. Dan Belly pun juga kuliah di tempat Jere kuliah.

Tapi terus, ada masalah dateng....

“A fight is like a fire. You think you have it under control, you think you can stop it whenever you want, but before you know it, it’s living, breathing thing and there’s no controlling it and you were a fool to think you could."




Intinya, hubungan Jere dan Belly enggak mulus-mulus banget. Masalah-masalah dateng, sampai akhirnya... Jere ngajak Belly....

Hm, ya harusnya udah ketahuan dari kalimatnya lah ya, maksud saya apa. Wkwk. Tapi saya berhenti di situ aja karena saya enggak mau terang-terangan ngasih spoiler ok.

Saya emang agak bingung sih, gimana cara nyeritain isi buku ini tanpa spoiler, jadi saya mutusin buat bikin review dengan spoiler juga (link-nya nanti ada di bawah). Jadii, saya mau bahas buku ini secara singkat aja di sini.

Oke, oke, jadi saya langsung baca ini begitu saya selesai baca It's Not Summer Without You dan... saya enggak nyesel!

Kalau kalian baca review saya buat It's Not Summer Without You, kalian bakal tahu kalau saya kesel banget sama Conrad dan pengin Belly sama Jere.

Tapi di buku ini, kan ada point of view-nya Conrad, dan saya langsung berubah pikiran.




Saya bener-bener jadi sayang banget sama Conrad dan walaupun di awal-awal saya udah seneng karena Jere dan Belly bareng-bareng, saya jadi ragu... hm.

Tapi yang jelas, saya puas banget sama ending-nya!




I warn you, cerita di buku ini drama banget. Tingkat kedramaannya jauuh banget sama buku pertama apalagi buku kedua. Konfliknya lebih kerasa dan bener-bener page turner. (Yah, buat saya sih, page turner karena saya bener-bener udah enggak sabar tahu ending-nya bakal kayak gimana. Bikin penasaran dan greget gitu wkwk.)

Masalahnya bisa dibilang cukup berlebihan dan saya enggak suka gimana Belly dan Jere bersikap impulsif banget. Cuma ya... saya cukup menikmati bacanya, kok. Seperti biasa, saya selalu suka baca tulisannya Jenny Han. Ngalir dan enak dibaca. Satu chapter-nya pun pendek-pendek. (Buku dengan chapter pendek-pendek kebanyakan page turner buat saya HAHA.)

Dan di buku ini, karakter Jeremiah sama Conrad bener-bener dimunculin.

Walaupun point of view Conrad baru ada di buku ini, tapi begitu baca buku ini tuh, saya langsung merasa kayak saya udah tahu Conrad sepanjang hidup saya (halah). Ya pokoknya, sebenernya, secara enggak sadar, waktu saya baca buku pertama dan kedua, saya itu udah kenal Conrad, tapi begitu baca buku ketiga ini, saya kayak diyakinkan bahwa saya kenal Conrad.

“I’ve only ever loved two boys—both of them with the last name Fisher. Conrad was first, and I loved him in a way that you can really only do the first time around. It’s the kind of love that doesn’t know better and doesn’t want to—it’s dizzy and foolish and fierce. That kind of love is really a one-time-only thing.” 

Kalau soal Jeremiah, well, semua tindakannya emang bukan hal baru. Saya pun merasa dibawa lebih deket lagi buat kenal dia. Dan ya... gitu deh. Hehe. Saya enggak mau nulis banyak-banyak. Takut kelepasan nulis spoiler.

“And then there was Jeremiah. When I looked at Jeremiah, I saw past, present, and future. He didn’t just know the girl I used to be. He knew the right-now me, and he loved me anyway.” 

Dan ada... Taylor. Di dua buku pertama, saya biasa aja (cenderung agak kesel, malah) sama sahabatnya Belly ini. Tapi di sini, saya bener-bener ngerasa, kayak, mau gimana juga, Taylor itu sahabat Belly dari kecil dan mereka bakal terus ada buat satu sama lain, walaupun sekarang, mereka udah enggak se-BFF dulu, tapi saya tetep terharu pas Taylor bener-bener bantuin Belly ngurusin... itu. : " ).


AAAAA , Sherlock-Watson HEHE. ((Maaf, OoT dikit, wkwk))

Intinya, novel ini bener-bener memuaskan sebagai penutup sebuah trilogi. Apalagi kalau dinilai dari keseluruhan triloginya... aaaa, bener-bener bagus. Di bab terakhir buku ini saya enggak bisa nahan senyum saya, tapi saya juga pengin nangis terharu + sedih. Bener-bener heart-warming!

Oke, oke, segini dulu aja buat review non-spoiler-nya. Saya sebenernya mau naruh banyaaak banget quotes, tapi quote-quote itu mengandung spoiler jadi yah... saya enggak bisa naruh banyak quotes di sini.

“We didn’t know what was ahead of us then. We were just two teenagers, looking up at the sky on a cold February night. So no, he didn’t give me flowers or candy. He gave me the moon and the stars. Infinity.” 

Buat kalian yang udah baca buku ini, atau buat yang belum baca tapi nekat atau enggak keberatan kena spoiler, silakan baca review saya buat buku ini yang ada spoiler-nya: https://expellianmus.blogspot.co.id/2017/07/summer-3-well-always-have-summer-jenny.html

Terakhir, saya kasih 5 dari 5 bintang buat infinity : )



Eh, bukan. Maksudnya ini:






0 komentar:

Post a Comment